Sumber: Anindyadevi Aurellia/detikJabar
UMKM sering disebut sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Jumlahnya besar, menyerap tenaga kerja dalam jumlah masif, dan hadir di hampir setiap sudut kota hingga pelosok desa. Tapi, apa yang dimaksud dengan UMKM? Apakah semua pedagang termasuk pelaku UMKM? Jawabannya: tidak selalu.
UMKM singkatan dari Usaha Mikro Kecil Menengah. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008, UMKM adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang. Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Sumber: BeritaSatu Photo/Mohammad Defrizal
UMKM memainkan peran krusial dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2023, jumlah pelaku usaha UMKM tercatat mencapai sekitar 66 juta unit usaha, menjadikannya sebagai tulang punggung ekonomi rakyat.
Kontribusinya tidak main-main. Berdasarkan data dari Kadin Indonesia, UMKM menyumbang sekitar 61% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, atau setara Rp9.580 triliun. Tak hanya itu, UMKM juga berhasil menyerap sekitar 117 juta tenaga kerja, atau 97% dari total tenaga kerja nasional.
Dengan kata lain, UMKM itu tak hanya penting bagi ekonomi negara, tapi juga bantu banyak orang punya pekerjaan dan penghasilan. Tak heran kalau UMKM sering disebut sebagai penyelamat di masa sulit. Kalau terus didukung dengan tepat—baik lewat pelatihan, pemasaran, atau akses ke teknologi—UMKM Indonesia bisa tumbuh lebih besar lagi dan jadi pemain utama di ekonomi masa depan.
Berdasarkan data dari Open Data Jabar, dalam kurun waktu satu tahun, proyeksi jumlah UMKM di Jawa Barat mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan.
Sumber: Open Data Jabar, 2023
Jika melihat berdasarkan wilayahnya, proyeksi jumlah UMKM kuliner Kabupaten Bogor terbanyak di Jabar. Jumlahnya mencapai 204.302 unit. Posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Kabupaten Bandung dan Kota Bandung, dengan angka masing-masing 192.442 dan 187.355 unit. Disusul dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Garut di posisi kelima dan keenam.
Ini fun fact-nya: kata “kuliner” merupakan serapan dari kata dalam bahasa Inggris “culinary” yang berarti segala hal yang berkaitan dengan masakan atau dapur.
Menurut Open Data Jabar, usaha di bidang kuliner berbeda dengan bidang makanan. Usaha kuliner merujuk pada makanan siap saji, sedangkan usaha makanan lebih mengacu pada produk olahan yang dikemas, seperti keripik, sambal botol, atau makanan ringan yang dijual dalam kemasan.
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2023
Selama tiga tahun terakhir, jumlah UMK di Jabar mengalami fluktuasi. Tahun 2021, tercatat ada 622.225 unit usaha. Di tahun 2022, terjadi kenaikan signifikan menjadi 667.795 unit usaha. Namun, pada tahun 2023, jumlah UMK menurun 3,91% menjadi 641.639 unit usaha.
Penurunan di tahun 2023 ini menunjukkan adanya tantangan yang dihadapi pelaku UMKM, baik dari sisi pasar, daya saing, maupun keberlanjutan usaha.
Meski jumlah UMKM kuliner di Jabar tergolong tinggi, tak sedikit yang mengalami nasib serupa: baru buka, tapi tak lama tutup. Banyak usaha kecil kesulitan bertahan karena berbagai alasan, salah satunya adalah kurangnya riset dan perencanaan di awal.
Sebuah riset pasar oleh Evermos—platform social-commerce yang fokus pada pendampingan UMKM—menyebutkan bahwa 99% UMKM gagal berkembang karena produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. Temuan ini, yang diterbitkan oleh World Economic Forum (2021), banyak terjadi di kalangan pelaku usaha pemula.
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Barat tahun 2023–2024, Taufik Garsadi, juga menyoroti hal serupa. Menurutnya, banyak UMKM di Jabar belum memiliki daya saing global, baik dari segi jumlah maupun kualitas.
"Kebanyakan UMK di Jabar bukan didesain dari awal, tapi karena 'kecelakaan'—susah cari kerja, ya udah bikin UMKM. Ada beberapa yang memang dirancang sejak awal dengan tujuan jelas, tapi itu hanya sedikit," ujarnya.
Padahal, membangun UMKM tidak bisa asal jalan. Salah satu pondasi penting adalah kemampuan membaca dan menggunakan data.
“UMKM perlu memiliki kemampuan untuk membaca dan mengolah data. Baik untuk mereka yang baru memulai atau di tahap pengembangan, dengan bergerak dari data, para pemilik usaha dapat membuat kebijakan bisnis serta menangkap kebutuhan di pasar dengan lebih tepat,” jelas Ilham Taufiq, Co-founder Evermos.
Selain pemahaman berbasis data, faktor keilmuan, jejaring, dan adaptasi terhadap teknologi juga sangat penting agar UMKM—khususnya di sektor kuliner—tidak hanya ramai saat awal buka, tapi juga mampu bertahan dan berkembang dalam jangka panjang.
Sumber: entrepreneur.bisnis.com
Setiap pelaku usaha punya perjalanan sukses yang berbeda. Namun, kalau bisa belajar dari mereka yang sudah terbukti berhasil, mengapa harus mengulang kegagalan yang sama? Salah satu contoh menarik datang dari pelaku usaha kuliner legendaris di Bandung, Jeffry Cahyadi P., pemilik generasi kedua Martabak Sakura yang sudah berdiri sejak tahun 1970-an.
Meski sudah dikenal luas di Bandung, milik Jeffry Cahyadi sempat menghadapi tantangan saat mencoba ekspansi ke Dago dan Kelapa Gading. Hasilnya tak sesuai harapan, hingga Jeffry menyadari pentingnya memahami segmentasi pasar.
Ternyata, konsumen utama mereka adalah warga Bandung yang mengutamakan harga ekonomis dan porsi besar. Strategi pun diubah.
Jeffry juga aktif beradaptasi secara digital, dibantu oleh Account Manager untuk bantu memberikan market insight, menyusun strategi promo, dan membangun brand awareness secara data-driven. Kini Jeffry telah berhasil membuka dua cabang baru.
Sumber: Wisma Putra/detikJabar
Adaptasi digital tak hanya soal promosi, tapi juga soal metode pembayaran. Di tempat lain, pemilik UMKM yang akrab disapa Mang Eko, pendiri Cikopi Mang Eko di Kota Bandung, juga merasakan manfaat dari pembayaran non-tunai.
"Enak pisan, karena cashless, enggak usah menyediakan kembalian yang banyak," kata Mang Eko.
Dari penuturan para pelaku UMKM seperti Jeffry dan Mang Eko, kita bisa belajar bahwa bertahan di tengah persaingan bisnis tidak cukup hanya mengandalkan insting. Dibutuhkan pemahaman pasar, kemampuan adaptasi, dan kemauan untuk terus belajar.
Pendekatan berbasis data inilah yang semakin penting di era digital, karena membantu pelaku usaha mengambil keputusan yang lebih tepat dan terukur.
Sejalan dengan riset dari McKinsey pada tahun 2022, UMKM yang menerapkan analitik data memiliki kemungkinan 60% lebih besar untuk bertahan di atas 3 tahun.
Jadi, mulai sekarang, yuk biasakan ambil keputusan bisnis bukan cuma pakai feeling—tapi juga pakai data.
Mulai aja dari hal sederhana—catat penjualan, cek tren, lalu sesuaikan strategi. Pelan-pelan, usahamu bisa lebih tahan banting 💪
Referensi
https://kadin.id/data-dan-statistik/umkm-indonesia/
https://swa.co.id/read/333966/riset-pasar-ini-paparkan-penyebab-99-umkm-gagal-mengembangkan-usaha